Indonesian - Bahasa indonesia

Publié le par christophe bagonneau

 

 

(Perwujudan Tuhan)

 

Diterjemahkan oleh Dalih Sembiring

 

Saya tidak bisa memfoto dengan baik. Saya melakukannya cuma secara kebetulan atau sekedar mengikuti intuisi. Mencuri semua dari sang waktu, dari kejadian-kejadian, atau dari hidup sehari-hari saya tidak mampu. Pun telah saya sia-siakan begitu banyak kesempatan dalam pelbagai perjalanan dan jamuan-jamuan pernikahan. Yang dapat saya ambil hanya beberapa hal milik orang lain, yang diberinya saya izin untuk mengambilnya –yaitu kondisi-kondisi tertentu, situasi-situasi yang tidak mengenal perubahan. Yang konteksnya telah saya definiskan sendiri. Yang darinya saya tidak bisa menjauh atau pergi, tak bisa membebaskan diri. Sebab saya juga tidak tahu bagaimana semestinya mengatur cahaya. Saya menerimanya biar bagaimanapun, dari manapun, ia jatuh pada saya, pada pengambilan close up yang sedekat mungkin, sedekat mungkin pada kulit beserta bopeng-bopengnya. Dan terkadang bila saya mampu mencabik sesuatu daripadanya, kemungkinan besarnya inilah yang akan muncul: kabur dan samar sosok tubuh yang sedianya jelas dan nyata, sebab mata kita –dalam berontaknya– senantiasa menahan kita pada salah satu dari dua dunia tadi, bila tak samar maka terang, saling memunggungi dalam apa yang disuguhkan oleh indera-indera kita sebagai kenyataan.

 

Kedatangan saya ke Asia berbading lurus dengan berkecimpungnya saya ke dalam dunia fotografi, ketika sepasang mata ini akhirnya menyadari apa yang ada di depan mereka. Tanpa perlu diberi interpretasi, karya-karya saya sudah hadir bersama semua kesimpulan yang diperlukannya, yaitu dalam hal memilih objek tepat di tempat seseorang terbangun: seorang Adonis Asia. Dan bila saya cukup sadar untuk menelusuri hidup ini dalam kerangka pemikiran Judeo-Kristiani, saya telah mencoba menjaringnya ke sisi paling Timur dari muasal Kristen saya yang sungguh Barat, dalam perujukan yang menggambarkan Noygorod masih berkilau dengan segala keemasannya.

 

Tak ada sistem dalam kekaryaan saya, yang ada hanyalah ketagihan pada ke-monoton-an. Saya biasanya tak tahan –tidak biasa– berjauhan dari rupa wajah, serta dari tubuh.

 

Ketika potret tertuang dalam proses fotografis saya, satu rujukan yang betul-betul tidak boleh dilupakan adalah ikon-ikon keramat dari gereja-gereja ortodoks. Tapi jika saya tengah mencari inspirasi dari Yunani atau Rusia, yang menjadi lebih penting adalah jiwa dibandingkan garis-garis itu sendiri, memberikan kesucian pada segenap daging. Dari inspirasi tersebut, saya menemukan sebuah paradigma untuk rangkaian pengaturan atau bahkan cara tertentu untuk bekerja dengan cahaya, sebab para pemahat ikon-ikon sesungguhnya mencari cahaya itu dalam kekhusyukan kerja mereka. Walaupun terkadang saya sendirilah yang berseberangan dengan paradigma tadi, namun, bagi saya, seakan-akan selebihnya terlahir dari estetika ortodoks ini: imaji-imaji close up, sesedikit mungkin objek atau rujukan pada era tertentu, warna-warna yang tak terlihat; semua ini hadir dalam jiwa yang dinamai “ikon-ikon yang disederhanakan”, disebut juga kranouschki di Rusia.

 

Di abad ke-19, permintaan yang meningkat dari masyarakat akan ikon-ikon mendorong terjadinya produksi masal. Semua pekerja dan perupa Rusia dari desa-desa yang paling terpencil sekalipun beramai-ramai memproduksi ikon. Karya-karya periode tersebut, diberi istiah kranouschki, dicirikan oleh komposisi yang disederhanakan. Walaupun terkadang karya-karya itu mengarah pada skematisme, mereka mengekspresikan usaha sintesis luar biasa, yang kadangkala justru tidak nampak dari kelompok-kelompok pekerja seni paling berkelas sekalipun. Gambar-gambar tadi biasanya direduksi ke bentuk versi kasarnya yang sederhana, dan warna-warna dibatasi hingga ke nuansa yang paling dasar.

 

Biarkanlah hal tersebut apa adanya, dan cobalah kesampingkan segala kekurangannya, maka ikon-ikon keagamaan ini senantiasa menggambarkan tema umum karya-karya seni besar keagamaan. Lembar-lembar kayu itu tak akan pernah berhenti menyuapi ketidaksadaran keagamaan kita dengan segala epiphany (perwujudan Tuhan) yang paling gila. Nyata kini, itulah maksud dari semua ini: memberi agar memahami, menegang pada daging, jari agung yang bisu itu. Dan tak peduli goresan-goresan kaku yang menggambarkan jatuhnya manusia ke neraka atau diangkatnya ia ke surga diiringi cahaya, mari mengorbankan diri membaca Kini, sebuah kekinian suci yang dengannya manusia bisa memperkaya dirinya dalam sekejap. Intervensi agung ini, atau yang mirip-mirip dengannya secara asimilatif, merupakan satu dari ciri-ciri utama dunia Indonesia, dan Bali pada khususnya. Mereka berbicara mengenai kesurupan makhluk gaib, jin-jin yang menghantui. Maka pada saat itu segala irasionalitas kitalah –dari mimpi-mimpi serta asal-muasal kita, dalam kebingungan abadi kelamin-kelamin– yang mengerakkan bola mata dan melengkungkan jari-jemari kita.

Pour être informé des derniers articles, inscrivez vous :
Commenter cet article